“Show, don't tell” adalah suatu prinsip juga teknik mendasar dalam dunia
kepenulisan yang memandu penulis untuk membuat narasi yang menarik dan
menjerumuskan pembaca lebih jauh ke dalam cerita. Teknik ini mendorong
penulis untuk menggunakan narasi deskriptif, aksi, dan dialog untuk
membangkitkan emosi dan menciptakan citra yang hidup, daripada sekadar
memberi tahu pembaca apa yang sedang terjadi atau bagaimana perasaan
karakter.
Dengan menunjukkan adegan, tindakan, dan dialog, penulis mengundang pembaca
untuk secara aktif terlibat dengan cerita dan terhubung dengan karakter pada
tingkat yang lebih mendalam.
Sebagai contoh, alih-alih menyatakan bahwa seorang karakter sedang sedih,
penulis dapat menunjukkan karakter tersebut menyeka air mata dan berbicara
dengan suara serak. Pendekatan ini memungkinkan pembaca untuk mengalami
emosi melalui tindakan dan ekspresi karakter.
Showing | Tell |
---|---|
Emosi yang terkumpul di dalam dadanya kini melebur dan mengalir deras dari ujung matanya. Tangannya sudah terlambat untuk menyeka, tiada lagi yang mampu menghentikan tangisannya. | Gadis itu merasa sedih. |
Source: pixabay.com |
Inti dari “show, don't tell” adalah kekuatan citra yang jelas. Ketika
penulis melukiskan gambar dengan kata-kata, pembaca dapat memvisualisasikan
adegan dan membenamkan diri mereka dalam dunia cerita yang mereka baca.
Penggambaran yang jelas membantu pembaca membentuk hubungan pribadi dengan
narasi, membuat pengalaman membaca lebih berdampak dan berkesan.
Dengan menarik indera pembaca-penglihatan, suara, sentuhan, rasa, dan
penciuman-penulis dapat menciptakan resonansi emosional yang lebih dari
sekadar eksposisi. Narasi deskriptif memungkinkan pembaca untuk merasa
seolah-olah mereka menyaksikan peristiwa secara langsung, menghidupkan
cerita dalam pikiran mereka.
Salah satu tujuan utama dari “show, don't tell” adalah untuk menumbuhkan
hubungan emosional antara pembaca dan karakter. Ketika pembaca menyaksikan
tindakan, ekspresi wajah, dan interaksi para tokoh, mereka akan mendapatkan
wawasan tentang pikiran dan perasaan mereka. Hubungan emosional ini
memungkinkan pembaca untuk berempati dengan perjuangan, kegembiraan, dan
ketakutan para karakter, membuat mereka lebih peduli dalam perjalanan
mereka.
Misalnya, dengan menunjukkan tindakan kebaikan tanpa pamrih dari seorang
karakter, pembaca dapat merasakan kekaguman dan kehangatan terhadap karakter
tersebut, bahkan tanpa secara eksplisit menyatakan bahwa karakter tersebut
baik hati.
Source: pixabay.com |
“Show, don't tell” adalah alat yang ampuh untuk membangun suspense dalam
bercerita. Alih-alih mengungkapkan poin-poin plot yang krusial secara
blak-blakan, penulis dapat mengisyaratkan hal tersebut melalui adegan dan
interaksi yang dibuat dengan saksama. Pendekatan ini membuat pembaca tetap
terlibat dan ingin mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan membiarkan detail-detail tertentu terbuka untuk interpretasi, penulis
menciptakan rasa penasaran dan misteri. Ketidakpastian ini mendorong pembaca
untuk terus maju, bersemangat untuk mengungkap rahasia pada cerita.
Dengan menggunakan “show, don't tell”, penulis dapat mengembangkan karakter
yang menyeluruh dan dapat dipercaya. Alih-alih hanya mendeskripsikan sifat,
tindakan, dan keputusan karakter, penulis dapat memberikan wawasan tentang
kepribadian dan motivasi mereka. Ketika pembaca melihat karakter menghadapi
tantangan, membuat pilihan, dan terlibat dalam percakapan yang bermakna,
mereka akan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang siapa karakter
tersebut dan apa yang mendorong mereka untuk tetap maju.
Selain itu, “show, don't tell” memungkinkan penulis untuk mengungkapkan
perkembangan karakter melalui tindakan dan keputusan mereka. Ketika karakter
mengalami pertumbuhan dan perubahan, pembaca menyaksikan transformasi ini
secara langsung, membuat mereka merasa lebih otentik dan mudah dipahami.
Masalahnya, dalam penggunaan teknik “show, don't tell”, penulis harus
memperhatikan rasio dalam penggunaannya. Apabila menggunakan show terlalu
sering, cerita akan terkesan terlalu bertele-tele saat dituliskan. Sama
halnya dengan tell. Jika tell digunakan terlalu sering, tulisan pada cerita
tidak akan memiliki variasi, semuanya terasa to-the-point tanpa memberikan
waktu untuk pembaca tenggelam dalam cerita lebih jauh. Maka dari itu,
penulis harus berhati-hati dan juga bekreasi dengan apik dalam penulisan
agar pembaca tetap betah untuk terus membaca dan menyelesaikan cerita yang
telah ditulis.
0 Komentar